Kisah 3
Orang Yang Terkurung Di Gua
(Bentuk
Tawassul Yang disyari’atkan)
Mukaddimah
Bila
melihat fenomena yang ada di masyarakat, kita banyak menemukan hal-hal yang
sama sekali jauh dari ajaran Islam bahkan menjurus kepada perbuatan syirik
tanpa disadari.
Hal
ini tentunya diakibatkan kurangnya pemahaman yang benar tentang ajaran agama,
terutama pondasi ‘aqidah yang sangat lemah sehingga ritual-ritual yang
sebenarnya merupakan warisan animisme, dinamisme, Budhisme dan Hinduisme masih
tetap dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Diantara
bentuk ritual tersebut, misalnya, mempersembahkan sesajenan kepada apa yang
mereka sebut sebagai penguasa pantai selatan -yang lebih dikenal dengan nyi
loro Kidul- dengan keyakinan bahwa hal tersebut dapat menghindarkan mereka dari
malapetaka dan kemarahannya, dimudahkan rizki dan sebagainya; mendatangi
kuburan orang-orang shalih atau orang yang dijuluki sebagai wali, yang dianggap
keramat dengan membawa tumbal atau sesajenan seperti ayam dan hidangan yang
berupa lauk pauk, dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa si penghuni kuburan
yang wali dan dianggap keramat tersebut dapat memenuhi keinginan mereka,
karenanya mereka memohon melalui mereka agar dapat memenuhi keinginan mereka
dalam mendapatkan jodoh, menjadi kaya dan seterusnya. Dan banyak lagi
ritual-ritual lain yang sebenarnya bernuansa syirik.
Anehnya,
hal itu biasanya mengatasnamakan dien al-Islam dengan membuat nuansa Islami
didalam perayaannya bahkan dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an. Sungguh, hal
ini merupakan bentuk pelecehan terhadap ajaran Islam dan bagi pelakunya agar
segera bertaubat kepada Allah Ta’ala. Apa yang mereka kira, bahwa hal itu
merupakan bentuk tawassul adalah salah kaprah. Bila ingin bertawassul
maka hendaknya sesuai dengan ketentuan syari’at sebab tawassul semacam
itu dilarang dan akan menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan dan kesesatan.
Untuk
itu, dalam kajian hadits kali ini, kami menjadikan tema utamanya seputar tawassul
yang dianjurkan dan dibenarkan oleh syari’at melalui sebuah kisah yang terdapat
dalam hadits yang shahih dan –kiranya- amat masyhur, disamping permasalahan
lainnya yang dapat diambil pelajaran dari kisah tersebut.
Metode
penjelasan melalui kisah seperti ini biasanya membuat pembaca atau pendengarnya
lebih tertarik dan cepat meresap ke dalam sanubari, untuk kemudian
ditindaklanjuti dalam kehidupan nyata.
Semoga
bermanfa’at dan dapat menggugah hati kita semua.
NASKAH
HADITS
عن
عبد اللّه بن عمر- رضي اللّه عنهما- قال : سمعت رسول اللّه يقول : » انطلق ثلاثة رهط
ممن كان قبلكم حتى أووا المبيت إلى غار فدخلوه ، فانحدرت صخرة من الجبل، فسدّت عليهم
الغار، فقالوا: إنه لا ينجيكم من هذه الصخرة إلا أن تدعوا اللّه بصالح أعمالكم، فقال
رجل منهم: اللهم كان لي أبوان شيخان كبيران وكنت لا أغْبقُ قبلهما أهلاً ولا مالاً،
فنأى بي في طلب شيء يوما، فلم أرِح عليهما حتى ناما : فحلبت لهما غبوقهما، فوجدتهما
نائمين، وكرهت أن أغبق قبلهما أهلاً أو مالًا، فلبثت- والقدح على يدي- أنتظر استيقاظهما
حتى بَرَق الفجر، فاستيقظا فشربا غبوقهما، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرّج
عنا ما نحن فيه من هذه الصخرة، فانفرجت شيئاً لا يستطيعون الخروج « .
قال النبي : »
وقال الآخر: اللهم كانت لي بنت عمّ، كانت أحبَّ الناس إلَّي، فأردتها عن نفسها، فامتنعت
منّي حتى ألمَّت بها سنة من السنين ، فجاءتني فأعطيتها عشرين ومائة دينار على إن تخلّي
بيني وبين نفسها، ففعَلَت، حتى إذا قدَرْتُ عليها، قالت: لا أحِلّ لك أن تفضّ الخاتم
إلا بحقّه، فتحرجت من الوقوع عليها، فانصَرَفْتُ عنها وهي أحبّ الناس إلىّ، وتركتُ
الذهب الذي أعطيتها، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت
الصخرة، غير أنهم لا يستطيعون الخروج منها « .
قال النبي : »
وقال الثالث : اللهم إني استأجرت أجراء ، فأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذي له
وذهب ، فثمّرت أجره حتى كثرت منه الأموال، فجاءني بعد حين ، فقال : يا عبد الله ، أدِّ
إلي أجري ، فقلت له : كل ما ترى من أجرك، من الإبل، والبقر، والغنم، والرقيق، فقال
: يا عبد الله ، لا تستهزئ بي ، فقلت : إني لا أستهزئ بك فأخذه كله فاستاقه فلم يترك
منه شيئا ، اللهم فإن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه ، فانفرجت الصخرة
، فخرجوا يمشون « متفق عليه.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallaahu 'anhuma, dia
berkata: “aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:’ada
tiga orang yang hidup sebelum kalian berangkat (ke suatu tempat) hingga mereka
terpaksa harus berminap di sebuah gua, lalu memasukinya. Tiba-tiba sebuah batu
besar runtuh dari arah gunung lantas menutup rongga gua tersebut. Lalu mereka
berkata:’sesungguhnya yang dapat menyelamatkan kalian dari batu besar ini
hanyalah dengan (cara) berdoa kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan yang
shalih’ (maksudnya: mereka memohon kepada Allah dengan menyebutkan perbuatan
yang dianggap paling ikhlas diantara yang mereka lakukan-red). Salah seorang
diantara mereka berkata:’Ya Allah! aku dulu mempunyai kedua orang tua yang
sudah renta dan aku tidak berani memberikan jatah minum mereka kepada
keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku). Pada
suatu hari, aku mencari sesuatu di tempat yang jauh dan sepulang dari itu aku
mendapatkan keduanya telah tertidur, lantas aku memeras susu seukuran jatah
minum keduanya, namun akupun mendapatkan keduanya tengah tertidur. Meskipun
begitu, aku tidak berani memberikan jatah minum mereka tersebut kepada
keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku).
Akhirnya, aku tetap menunggu (kapan) keduanya bangun -sementara wadahnya
(tempat minuman) masih berada ditanganku- hingga fajar menyingsing. Barulah
Keduanyapun bangun, lalu meminum jatah untuk mereka. ‘Ya Allah! jika apa yang
telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah
rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu
tersebut sedikit merenggang namun mereka tidak dapat keluar (karena masih
sempit-red)’ .
Nabi bersabda lagi: ‘ yang lainnya (orang kedua)
berkata: ‘ya Allah! aku dulu mempunyai sepupu perempuan (anak perempuan paman).
Dia termasuk orang yang amat aku kasihi, pernah aku menggodanya untuk berzina
denganku tetapi dia menolak ajakanku hingga pada suatu tahun, dia mengalami masa
paceklik, lalu mendatangiku dan aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia
membiarkan apa yang terjadi antaraku dan dirinya ; diapun setuju hingga ketika
aku sudah menaklukkannya, dia berkata:’tidak halal bagimu mencopot cincin ini
kecuali dengan haknya’. Aku merasa tidak tega untuk melakukannya. Akhirnya, aku
berpaling darinya (tidak mempedulikannya lagi-red) padahal dia adalah orang
yang paling aku kasihi. Aku juga, telah membiarkan (tidak mempermasalahkan
lagi) emas yang telah kuberikan kepadanya. Ya Allah! jika apa yang telah
kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga
gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu tersebut
merenggang lagi namun mereka tetap tidak dapat keluar (karena masih sempit-red)’
.
Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda lagi: ‘ kemudian orang ketigapun berkata:
‘Ya Allah! aku telah mengupah beberapa orang upahan, lalu aku berikan upah
mereka, kecuali seorang lagi yang tidak mengambil haknya dan pergi (begitu
saja). Kemudian upahnya tersebut, aku investasikan sehingga menghasilkan harta
yang banyak. Selang beberapa waktu, diapun datang sembari berkata: “wahai
‘Abdullah! Berikan upahku!. Aku menjawab:’onta, sapi, kambing dan budak; semua
yang engkau lihat itu adalah upahmu’. Dia berkata :’wahai ‘Abdullah! jangan
mengejekku!’. Aku menjawab: “sungguh, aku tidak mengejekmu’. Lalu dia mengambil
semuanya dan memboyongnya sehingga tidak menyisakan sesuatupun. Ya Allah! jika
apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka
renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada.
Batu besar tersebut merenggang lagi sehingga merekapun dapat keluar untuk
melanjutkan perjalanan’. (Muttafaqun ‘alaih)
SEPUTAR
PERAWI HADITS
Beliau
adalah seorang shahabat agung, Abu ‘Abdirrahman, ‘Abdullah bin ‘Umar bin
al-Khaththab bin Nufail, berasal dari suku Quraisy dan al-‘Adawiy.
Beliau
juga seorang yang lama berdiam di Mekkah sehingga dinisbatkan kepadanya
“al-Makkiy”. Demikian pula, beliau lama tinggal di Madinah setelah di Mekkah,
sehingga dinisbatkan kepadanya “al-Madaniy”.
Beliau
adalah seorang Imam panutan, masuk Islam saat masih kecil dan berhijrah bersama
ayahnya saat belum berusia baligh. Pada perang Uhud, beliau tidak ikutserta
karena masih kecil sehingga peperangan pertama yang diikutinya adalah perang
Khandaq (perang Ahzâb). Beliau termasuk orang yang membai’at di bawah
pohon.
Beliau
banyak mewarisi ilmu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para
al-Khulafaur Rasyidun. Wafat pada tahun 73 H.
PENJELASAN
KEBAHASAAN
1.
Ungkapan:
“inthalaqa tsalâtsatu rahthin min man kâ na qablakum” (’ada tiga orang
yang hidup sebelum kalian) yakni tiga orang yang berasal dari Bani Israil.
2.
Ungkapan
: “Rahthun” (orang) ; digunakan untuk jumlah dibawah sepuluh orang.
3.
Ungkapan
: “an tad-‘ullâha bi shâlihi a’mâlikum” (dengan cara berdoa
kepada Allah melalui perbuatan-perbuatan yang shalih), yakni bertawassul-lah
kepada Allah Ta’ala dan berdoa-lah kepadaNya dengan perantaraan
perbuatan-perbuatan yang shalih yang kalian lakukan.
4.
Ungkapan
: “Lâ uhillu laka an tafudldla al-Khâtim illâ bihaqqihi”
(’tidak halal bagimu mencopot cincin ini kecuali dengan haknya’), yakni bahwa
dia (sepupu perempuannya) memintanya agar tidak menyetubuhinya kecuali dengan
cara yang sesuai dengan aturan syara’.
PELAJARAN-PELAJARAN
YANG DAPAT DIPETIK
Hadits
panjang diatas mengandung banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik,
diantaranya:
a.
Mengambil pelajaran dan wejangan dari kisah-kisah umat
terdahulu
Seorang
Muslim patut mempelajari dan merenunginya sehingga dapat bermanfa’at bagi
kehidupannya. Bukankah Allah Ta’ala telah mengisahkan banyak sekali kisah-kisah
umat-umat terdahulu, terutama para utusan Allah, kepada kita?. Semua itu,
tentunya agar generasi selanjutnya dapat memetik pelajaran dari mereka. Dalam
hal ini, Allah berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman”. (Q,.s.12/Yûsuf: 111)
b.
Al-Uslûb al-Qashshiy (gaya bahasa yang menggunakan
kisah/cerita) dapat membuat pendengar dan pembaca ketagihan untuk mendengar
atau membacanya, penuh antusias dan langsung meresponsnya dalam tindakan nyata
Oleh
karena itulah, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam senantiasa dari waktu ke waktu
menggunakan metode ini ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya.
Seorang penuntut ilmu perlu juga melakukan metode seperti ini saat menyampaikan
kajiannya kepada para pesertanya bilamana dia mendapatkan momen yang tepat
untuk itu sebab metode seperti ini memiliki implikasi positif terhadap
pemikiran dan akhlaq mereka.
c.
Pentingnya ‘aqidah yang benar dan tauhid yang bersih
dari noda syirik
Diantara
amalan yang paling agung yang dapat menyelamatkan pelakunya dari bencana yang
menimpanya di dunia dan (dari) ‘azab di akhirat adalah ‘aqidah yang benar dan
tauhid yang bersih dari noda-noda syirik.
Hal ini tampak dari kisah ketiga orang yang terkurung di dalam gua diatas
dimana mereka bersepakat untuk bertawassul kepada Allah Ta’ala melalui
amalan-amalan mereka yang mereka anggap paling afdlal dan telah dilakukan
dengan seikhlash-ikhlashnya. Ternyata, begitu cepat mereka merasakan hasilnya di
dunia.
d.
Tawassul dengan perbuatan-perbuatan yang shalih
Kisah didalam hadits diantas menunjukkan bahwa bertawassul kepada Allah Ta’ala
dengan perbuatan-perbuatan yang shalih yang semata-mata mengharap ridla Allah
Ta’ala adalah disyari’atkan. Sedangkan bertawassul dengan selain itu, seperti
dengan pepohonan, kuburan, para wali dengan memohon kepada mereka sesuatu yang
tidak patut kecuali kepada Allah, merupakan syirik yang paling besar yang
mengeluarkan pelakunya dari dien Islam. Hal ini didukung oleh firman-firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu
adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu…”. (Q,.s.
7/al-A’râf:194)
Dan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah:"Serulah mereka yang kamu anggap
(sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat
zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun
dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada diantara mereka
yang menjadi pembantu bagi-Nya, [22]. Dan tiadalah berguna syafat di sisi Allah
melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu…”.[23]
(Q,.s. 34/as-Saba’:23)
e.
Urgensi doa
Doa merupakan suatu ibadah dan salah satu bentuk taqarrub yang paling afdlal
yang harus dilakukan oleh seorang Mukmin terhadap Rabbnya. Ia juga mengandung
makna perlindungan seorang hamba kepada Rabbnya dan bagaimana dia merasakan
betapa faqir, hinadina serta lemahnya kekuatan yang ada pada dirinya.
Dalam hal ini, ketiga orang tersebut berlindung kepada Allah Ta’ala dan memohon
agar Dia Ta’ala menyelamatkan mereka dari kondisi yang tengah mereka alami
melalui doa dan tawassul mereka kepadaNya. Allah berfirman: “Dan Rabbmu
berfirman:"Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Q,.s.40/Ghâfir:60)
Dan firmanNya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran”. (Q,.s. 2/al-Baqarah:186)
f.
Berbakti kepada kedua orangtua
Hadits diatas juga menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua (birr
al-Wâlidain), patuh, melakukan kewajiban terhadap hak-hak keduanya dan
mengabdikan diri serta menanggung segala kesulitan dan derita demi keduanya.
Diantaranya hak-hak keduanya adalah:
melakukan perintah keduanya selama bukan dalam berbuat maksiat kepada Allah
Ta’ala, melayani, membantu dalam bentuk fisik dan materil, berbicara dengan
ucapan yang lembut, tidak durhaka serta selalu berdoa untuk keduanya.
Memperbanyak doa untuk keduanya, bersedekah jariyah atas nama keduanya,
melaksanakan wasiat, menyambung rahim serta memuliakan rekan-rekan keduanya.
Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, [23]. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil".[24] (Q,.s. 17/al-Isra’: 23-24)
g.
Berbakti kepada kedua orangtua merupakan sebab
terhindarnya dari kesulitan-kesulitan di dunia dan keselamatan dari ‘azab
akhirat
Dalam kisah diatas, salah seorang dari mereka, bertawassul kepada Allah melalui
perbuatannya yang dianggap paling afdlal dan ikhlas dilakukannya, yaitu
berbakti kepada kedua orangtuanya sehingga hal menjadi sebab merenggang dan
terbukanya rongga gua dari batu besar yang menutupnya.
Abu Darda’ radhiallaahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau bersabda: “orangtua merupakan pintu pertengahan di
surga; jika kamu menginginkannya, maka jagalah ia atau bila (tidak) maka
sia-siakanlah “.
Sebagaimana, berbakti kepada kedua orangtua juga merupakan sebab masuk surga,
sementara durhaka kepada keduanya merupakan sebab mendapatkan ‘azab di dunia
dan akhirat.
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:”Ada tiga orang yang tidak dapat
masuk surga: ‘seorang yang durhaka kepada kedua orangtuanya; orang yang
menyetujui terjadinya zina terhadap keluarganya serta wanita yang kelelakian
(yang menyerupai laki-laki)”.
h.
Perhatian Islam terhadap kebersihan fisik dan kesucian
maknawi
Diantara hal-hal yang sangat diperhatikan oleh Islam, dianjurkan serta
berdampak positif terhadap kehidupan manusia setelah mati adalah kebersihan
fisik dan kesucian maknawi. Lahiriah seorang Muslim menyingkapkan sisi batiniah
dari dirinya. Contohnya dalam kisah ketiga orang diatas; salah seorang diantara
mereka tidak jadi melakukan perbuatan keji dan tak senonoh begitu si wanita,
yang merupakan sepupunya sekaligus orang yang paling dikasihinya,
mengingatkannya akan Rabbnya dan bahwa perbuatan tersebut tidak dilarang.
Karena sikapnya yang dapat menjaga dirinya tersebut, dia akhirnya mendapatkan
balasan yang baik di dunia, yaitu dengan merenggang dan terbukanya rongga gua
dari batu besar yang menutupnya. Sungguh, apa yang berasal dari sisi Allah
adalah lebih baik dan abadi.
i.
Kriteria Mukmin sejati
Seorang Mukmin sejati adalah orang yang selalu menghindari dirinya dari
perbuatan keji dan mungkar, tidak mendekati perbuatan maksiat dan dosa serta
senantiasa berkeinginan kuat agar dapat menjumpai Allah nantinya dalam kondisi
tersebut.
j.
Urgensi amanah
Amanah merupakan sesuatu yang agung dan bernilai tinggi di sisi Allah Ta’ala,
demikian pula di sisi manusia.
Mengingat urgensinya, Allah Ta’ala menawarkan amanah kepada langit, bumi dan
gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, akan tetapi kemudian amanah tersebut dipikul oleh manusia yang
lemah. Bila mengembannya dengan baik, maka akan mendapatkan ganjarannya di
dunia dan akhirat, tetapi sebaliknya, bila lalai dan tidak melaksanakannya maka
akan menjadi bumerang baginya.
Diantara bentuk amanah adalah:
Mentauhidkan Allah ‘Azza Wa Jalla
Melakukan perbuatan-perbuatan shalih secara umum
Melakukan hak-hak yang terkait dengan orang lain secara umum, dan
titipan-titipan, jaminan-jaminan serta hak-hak yang terkait dengan masalah
keuangan (menepati dan melunasi sesuai dengan ‘aqad) secara khusus.
k.
Urgensi amal shalih
Amal shalih dengan berbagai jenisnya merupakan sebab berhasilnya seseorang
keluar dari rintangan-rintangan serta kesulitan-kesulitan di dunia dan akhirat.
Dalam hal ini, Allah berfirman: “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, [2]. Dan memberinya rezki
dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. [3] (Q,.s.65/at-Thalâq: 2-3)
(Diambil
dari kajian hadits berjudul “Ash-hâb al-Kahf” , ditulis oleh Syaikh
Nâshir asy-Syimâliy [selain Mukaddimah])